Istilah “Degung”
Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras
(tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan
teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras
degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak;
bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini
dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan
pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat
resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung
berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V
yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati
Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada waktu itu di
kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A.
Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu
beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke
Bandung.” (1977: 69)
Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu Degung merupakan musik gendingan
(instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang sakral. Namun
kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten
Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan
pada bagian setelah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar