Kamis, 23 Oktober 2014

Perkembangan Gamelan degung

  1. 6.      Perkembangan Gamelan degung
Perkembangan dari kesenian Gamelan Degung (Sunda), dulu gamelan degung hanya dimainkan dengan cara ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912-1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena hal itu membuat suasana menjadikurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diizinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan akhirnya permohonan itu diizinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.

Repertoar Degung

Repertoar Degung
 
Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).

Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan untuk mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang diisi rampak sekar (vokal grup).
Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah. Di dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.
Beberapa contoh repertoar Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti: 1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II (Dalem Bintang: 1868-1910) pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002 adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3) Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6) Paturay, 7) Ayun Ambing, 8) Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang, 11) Manintin, 12) Jipang Prawa, 13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16) Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21) Papalayon, 22) Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25) Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29) Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32) Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen ulang) oleh Abah Idi.

Pola Tabuhan degung

Pola Tabuhan
Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan bonangnya yang menggunakan teknik gumekan. Pola tabuhan bonang inilah yang mewakili ekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti permainan piano pada musik klasik Barat. Ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada orkestra ini.

Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik menggunakan teknik dikemprang atau dicaruk. Namun teknik dicaruk lebih sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan.

Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk sekar atau tarian.

Laras / Tangga Nada sunda

Laras / Tangga Nada
 
Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengan tangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200 sen.

Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi (berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).

Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras madenda/sorog, dan laras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras Degung.

Struktur waditra / instrumen degung

Struktur waditra / instrumen
 
Pada awal pemerintahan Dalem Haji sebagai bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang, cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah Atma, para seniman karawitan Bandung yang sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919), perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang, dan suling. Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung.
Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan gamelan Degung untuk mendukung gending karesmen berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisional pada garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan sulingyang masih bertahan sampai sekarang.

Istilah “Degung”

 Istilah “Degung”
 
Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)

Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu Degung merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.

sejarah gamelan sunda



  1. 1.      Sejararah Gamelan Degung
Dalam sejarah gamelan degung (sunda), degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar pada akhir abad ke-18 atau pada awal abad ke-19.
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/ awal abad ke 19 Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat) Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan Galuhmisalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Masyarakat Sunda menduga dan mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “De gong” (gamelan, bahasa Belanda). Di dalam kamus ini, “de gong” mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.

Jumat, 17 Oktober 2014

Sejarah Alat Music Calung

Sejarah Alat Music Calung

11 Jul
Calung
Sejarah alat musik calung – Merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat dan menjadi ciri khas budaya Sunda yang selama ini ada dan bertahan di sana, sering kali orang menganggap sama antara Calung dengan Angklung, pada dasarnya alat musik ini sama-sama terbuat dari bambu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapatmenghasilkan nada-nada harmonis,bedanya adalah pada cara memainkannya, kalau Angklung dimainkan dengan cara digetarkan atau digoyang-goyangkan, sedangkan Calung
dimainkan dengan cara dipukul, Calung terbuat dari bambu hitam yang memang khusus digunakan untuk membuat calung, karena suara yang dihasilkan akan lebih baik bila menggunakan jenis bambu ini.
Beberapa bentuk calung:
1. Calung Gambang
Yang disebut Calung Gambang adalah sebuah calung yang dideretkan diikat dengan tali tanpa menggunakan ancak/standar. Cara memainkannya sebagai berikut: kedua ujung tali
diikatkan pada sebuah pohon/tiang sedangkan kedua tali pangkalnya diikatkan pada
pinggang si penabuh. Motif pukulan mirip memukul gambang.
2. Calung Gamelan
Calung Gamelan adalah jenis calung yang telah tergabung membentuk ansamble. Sebutan lain dari calung ini adalah Salentrong (di Sumedang), alatnya terdiri dari:
·   Dua perangkat calung gambang masing-masing 16 batang
  • ·   Jengglong calung terdiri dari 6 batang
  •    Sebuah gong bamboo yang biasa disebut gong bumbung
  • Calung Ketuk dan Calung Kenong terdiri dari 6 batang Kendang
Lagu-lagunya antara lain Cindung Cina (Cik indung menta Caina), Kembang Lepang, Ilo ilo
Gondang.
3. Calung Jingjing
Calung Jingjing adalah bentuk calung yang ditampilkan dengan dijingjing/dibawa dengan
tangan yang satu sedang tangan yang lainnya memegang pemukul. Sangat digemari
dibandingkan dengan bentuk calung-calung lainnya, alatnya terdiri dari:
  •  Calung Melodi mempunyai sepuluh nada s.d. 12 nada
  • Calung pengiring/akompanyemen terdiri dari 10 nada
  •  Calung Jengglong terdiri dari 5 nada
·   Calung besar sebanyak dua batang/nada berfungsi sebagai kempul dan gong

sejarah aksara sunda

Dalam Sejarah
Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena. Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.

Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno:

Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.
Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.
Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli. Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).
Berikut naskah Sewaka Darma.
Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.
Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.

KARAJAAN SUNDA


Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerjaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha,kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.

Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin
Kerajaan Sunda
 932–1579 

 
Wilayah Kerajaan Bersatu Sunda dan Galuh
Ibu kotaBerpindah-pindah antara Pajajaran, danKawali (Galuh). Pernah juga di Saunggalah (Kuningan)
BahasaBahasa Sunda,Bahasa JawaBahasa Melayu Kuno
AgamaHinduBuddhaSunda WiwitanIslam (mulai abad ke-14)
PemerintahanMonarki
Sejarah
 - Prasasti Kebonkopi II932
 - invansi Banten1579
Mata uangMata uang emas dan perak

Catatan sejarah

Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan.[3] Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran.

Catatan sejarah dari Cina
Menurut Hirth dan Rockhill,[4] ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:

"Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :

"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."

Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:

"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."

Temuan arkeologi
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.

Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.

Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.

Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung. Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Naskah Kuno
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[6] antaranya naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.

Berdirinya kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.[3] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.[9]

Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

SUKU SUNDA


Suku Sunda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Jika Suku Banten dikategorikan sebagai sub suku Sunda maka 17,8% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.

Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang.[2] Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden pada kabinet RI.

Disamping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.
Suku Sunda
Urang Sunda
á®…á®›ᮀ ᮞᮥá®”᮪ᮓ
Wiranatakusumah.jpgDewi Sartika.jpgOto Iskandar di Nata Youth.jpgUmarwirahadi.jpg
Iwa kusumasumantri.jpgDjuanda Cartawidjaja.jpgAli Sadikin.jpgBpk. Udjo.jpg
Mang koko.jpgAjip Rosidi.jpgWorld Economic Forum on East Asia 2011.jpgRidwan Kamil walikota.jpg
Robby Darwis Pangeran Bandung.jpgRicky Subagja.jpgBadminton-taufik hidayat.jpgDonita.jpg
Jumlah populasi
Setidaknya 36.701.670 jiwa[1] di Indonesia
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Jawa
Jawa Barat31.743.517
Banten2.411.937
DKI Jakarta1.555.646
Jawa Tengah339.997
Jawa Timur41.224
Sumatera
Lampung675.270
Sumatera Selatan182.535
Riau93.598
Kalimantan
Kalimantan Barat53.191
Sulawesi
Sulawesi Tenggara25.228
Papua
Papua28.597
Bahasa
Bahasa SundaBahasa Betawi dan Bahasa Indonesia.
Agama
Mayoritas Islam, namun ada sedikit yang beragama Sunda WiwitanHindu dan Kristen
Kelompok etnik terdekat
Suku JawaSuku BantenSuku Cirebon,Suku Baduy dan Suku Betawi.

Etimologi
Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman kerajaan Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang.

Kamis, 16 Oktober 2014

BELAJAR AKSARA SUNDA / BAHASA SUNDA




Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda, pada jaman dahulu pun bahasa daerah selalu digunakan oleh para masyarakat. Namun kini jaman telah berubah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata. Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda dan seringkali dari mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa daerah sendiri.
Ada hal yang harus kita ketahui mengenai bahasa sunda yaitu Ada beberapa dialekdalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
Dialek Barat (Bahasa Banten)
Dialek Utara
Dialek Selatan (Priangan)
Dialek Tengah Timur
Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon)
Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.






Yang perlu kita ketahui juga sunda mempunyai Kosa Kata Paling Banyak untuk berbagai tingkatan seperti di bawah ini :


Yuk kita belajar aksara sunda….